Mengenal Suku Dayak dengan Adat Istiadatnya
ADAT ISTIADAT SUKU DAYAK
Suku Dayak adalah suku asli
Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan
sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu
yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan
memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang
Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan
gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
- Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat
suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang
orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat
yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah
meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak
sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah
mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali
acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya
tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
- Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak
memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena
supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan
manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat
cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan
supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang.
Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari
keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media
burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
- Mangkok merah.
Mangkok merah merupakan media
persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan
mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima
biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di
edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali.
Setelah seseorang dari suku Dayak
dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda ada
salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu penduduk
setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa sumbangan
berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang,
kelapa, dan lain-lain .
Beberapa orang laki-laki pergi ke
dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon
khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan
beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai
tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini
dinamakan rarung.
Seseorang yang dinyatakan meninggal
dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi
mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya
dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan
lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul
menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku,
ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi
satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu
yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur
dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat
dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang
istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang,
pengulu adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi
pemasukan mayat ke dalam rarung.
Pasambe bertugas menyiapkan semua
keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan
bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat
dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan
dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si
mati dengan makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan,
tembakau dan lain-lain.
Jika penuturan wadian telah selesai
tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada saat itu
sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang kepada si
mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei
telah sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati
selagi berada di dunia fana.
1.Tari
Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan
orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta
biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering
disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya
dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq.
Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai
dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2. Tari
Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang
seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini
sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si
penari. Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil
suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai
dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya
menggunakan alat musik Sampe.
3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay
menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari
Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi
yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.Tari ini dibawakan oleh seorang
wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua
tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini
ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari
burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap
sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian
tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari
Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung
Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok
atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada
gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di
dahan pohon.
5. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit,
membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini
sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya.
Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
6. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang
menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau
orang yang menebang pohon tersebut.
7. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan
suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke
daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
8. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama
gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang.
Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah
di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan
atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah
suku Dayak Kenyah.
9. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung
dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang
dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan
irama tertentu.
10. Tari Baraga’ Bagantar
Awalnya Baraga’ Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan
memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah
menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
1. Sipet / Sumpitan.Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan
berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang
dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan
(Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan
rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat
anak sumpitan.
2. Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman
rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
3. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 –
2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan
mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
4. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun
temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran
baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu
gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu
burung atau rambut manusia.
TRADISI PEMANJANGAN TELINGA
Tak
cuma suku pedalaman luar negeri yang mempunyai ciri khas tersendiri dalam
menyimbolkan kecantikan seorang wanita Di Indonesia, Anda juga bisa menmperolehnya
pada Suku Dayak, Kalimantan. Di suku ini, symbol wanita yang dipandang cantik
adalah mereka yang mempunyai telinga panjang.Hampir serupa dengan yang
dilaksanakan oleh para leluhur Suku Kayan di Thailand terhadap keturunan
penerus mereka. Adat istiadat yang dijaga secara turun temurun ini sudah
dimulai sejak wanita Suku Dayak masih bayi dan cuma dilakukan oleh mereka yang
berasal dari keluarga para bangsawan.Layaknya menggunakan anting-anting di
telinga, wanita Suku Dayak juga melaksanakan hal serupa. Bedanya, anting yang
mereka pakai terbuat dari kuningan yang selalu ditambah jumlahnya, semakin
berat antingnya, maka telinga akan semakin panjang.
Tradisi
penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam
hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan
manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di
Kalimantan :
·
Penguburan
tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
·
Penguburan di dalam peti batu
(dolmen)penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu,atau anyaman tikar. Ini
merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
- · penguburan tahap pertama (primer)
- · penguburan tahap kedua (sekunder).
Masyarakat Dayak mengenal tiga cara penguburan, yakni :
- · Dikubur dalam tanah
- · Diletakkan di pohon besar
- · Dikremasi dalam upacara tiwah.
BERBURU ALA SUKU DAYAK
Suku Dayak yang hidup merambah di
hutan-hutan mempunyai cara unik dalam berburu binatang. Untuk berburu mereka
tidak menunggu binatang buruannya datang mendekati mereka tetapi mereka
memanggil binatang yang diinginkannya untuk datang mendekati mereka. Caranya?
Caranya tergantung dari binatang apa
yang mereka buru. Misalnya, untuk binatang rusa mereka akan menirukan suara
anak rusa dengan menggunakan sejenis daun serai yang dilipat melintang dan
ditiup. Hasil tiupannya akan muncul suara seperti suara anak rusa. Kenapa
begitu? “Karena Rusa selalu melindungi anaknya. Dengan mendengar suara ini dia
merasa anaknya membutuhkan pertolongan” demikian keterangan yang saya peroleh
dari seorang pemburu disana.
Bagaimana dengan binatang lainnya?
Celeng (Babi hutan) suka sekali diambil kutunya oleh Beruk (monyet besar), maka
untuk memanggil celeng, si pemburu akan menepuk pantat mereka berulang kali
sehingga muncul suara seperti Beruk menepuk badannya. Sedangkan Beruk tidak
pernah menjadi target buruan. “Rasanya seperti makan daging manusia” demikian
alasan mereka.
Memanggil (tepatnya mengejar) Babi
adalah tugas para anjing peliharaan si pemburu yang akan selalu diajak selama
berburu karena anjing mempunyai penciuman yang tajam. Kalau ingin berburu
Enggang, burung besar yang suka terbang si pemburu akan menirukan suara burung
tersebut yang mirip suara Elang. “KooaaaaK” kira-kira begitu.
Alat berburu yang mereka gunakan
hanyalah tombak atau sumpit. Karena sumpit mereka panjang, biasanya sumpit
tersebut bisa juga digunakan sebagai tombak. Jarum sumpit yang digunakan
berburu diolesi dengan ramuan racun yang berfungsi hanya melumpuhkan atau
bahkan mematikan.
Selama berburu mereka juga
menghitung waktu dan arah angin. Perhitungan waktu berkaitan dengan aktivitas
binatang buruan sementara arah angin untuk membantu mereka mennetukan posisi
untuk menyembunyikan diri. Bersedianya binatang buruan mendekati mereka sangat
dipengaruhi oleh bau asing yang dibawa angin.
Hal yang bisa diambil dari kehidupan
suku Dayak adalah kearifan tradisional sangat melekat mereka bahkan dalam hal
berburu. Mereka hanya berburu pada saat-saat tertentu di mana persediaan lauk
mereka sudah mulai menipis atau mereka akan mengadakan pesta. Suku Dayak sangat
menghormati alam. Karena bagi mereka alam memberikan mereka semua kebutuhan
yang mereka perlukan tergantung bagaimana kita memanfaatkan dan mengelolanya.
***
Terima kasih telah berkunjung:)
0 comments:
Post a Comment